Minggu, 26 Desember 2010

Kaum Pembela Pornografi (Republika, Senin, 20 Maret 2006)


Agus Triyanta
Dosen FH UII, Yogyakarta; Alumnus The University of Manchester, Inggris
Dalam berbagai momen upaya regulasi tentang pornografi di berbagai negara, muncul kelompok masyarakat yang menentang pengaturan atau pembatasan pornografi. Mereka inilah yang dikenal dengan defender of pornography atau kaum pembela kebebasan pornografi. Mereka muncul sebagaimana munculnya varian kepentingan publik yang terepresentasikan dalam pendapat yang pro, kontra, serta abstain.
‘Perang’ terhadap obscenity laws atau undang-undang tentang hal hal yang dianggap cabul yang dimulai di Amerika sejak pra dan pasca tahun 1960-an, dan di Inggris sekitar 1962-1980, tak lepas dari peran kelompok ini (Antiklimax, A Feminist Perspective on the Sexual Revolution, Jeffreys, Sheila; London: The Women’s Press, 1990). Lolosnya berbagai upaya pembebasan pornografi di Skandinavia, seperti Denmark yang sangat menonjol, adalah salah satu kesuksesan kelompok ini.
Ada beberapa hal yang dianjurkan oleh para pembela kebebasan pornografi.Pertama, mereka menyajikan pandangan skeptis terhadap klaim adanya hubungan kausalitas antara sirkulasi pornografi dengan kejahatan dan kekerasan. Kedua, pornografi telah memberikan keuntungan yang positif dalam kontribusinya terhadap individu dan masyarakat, termasuk membebaskan individu dari berbagai bentuk ketabuan dan pembatasan-pembatasan bagi fantasi yang pada hakikatnya tidak membahayakan apapun juga.
Bahwa pornografi dapat berperan sebagai promoting personal growth and awareness, serta menjadi katarsis bagi individual sexual tensionsKetiga, secara medis pornografi dapat digunakan sebagai program terapi untuk mereedukasi pelaku kejahatan seksual dari berbagai persepsi negatif tentang hubungan seksual menuju sikap dan perilaku yang lebih positif. Keempat, bisnis pornografi berefek positif bagi anggaran negara. Negara akan mendapatkan kenaikan pajak yang tinggi atas bisnis pornografi.
Naif
Berbagai argumen mereka didasari berbagai temuan dan riset –meski terkadang alasan-alasannya terkesan sangat na’f– berbagai komisi yang dibentuk. Di antara hasil temuan komisi yang diajukan sebagai alasan, termuat dalam The Problem of Pornography: Regulation and Right to Speech (Easton, Susan M; London: Roudledge,1994).
Jika dianalisis secera jeli, berbagai alasan di atas dapat dengan mudah ditemukan titik kelemahannya. Muara dari semua alasan itupun mudah ditebak: kebebasan (liberation) dari berbagai konstrain, baik konstrain agama maupun tradisi, dan terkadang tidak peduli agama apapun juga. Sebaliknya, didatangkanlah ‘agama baru’ yakni ”kebebasan” yang mereka menuntut orang lain pun mengikutinya.
Agaknya menarik melihat satu persatu argumen yang diajukan oleh pembela pornografi di atas. Pertama, kaitannya dengan pandangan skeptis terhadap kaitan antara pornografi dan kejahatan. Untuk menyimpulkan bahwa pembebasan pornografi tidak ada kaitan dengan kriminalitas, atau bahkan dalam titik tertentu justeru mengurangi angka kriminalitas, tentu tidak lepas dari konsep kriminalisasi yang diterapkan di suatu tempat. Maka jika pembebasan pornografi diartikan dengan pemberlakukan dekriminalisasi terhadap berbagai perbuatan asusila yang sebelumnya dilarang, sudah barang tentu jumlah kejahatan berkurang karena item bentuk kejahatan telah dikurangi.
Ilustrasinya, jika sebelumnya berciuman di muka umum dianggap sebagai kriminal, saat aturan tersebut dihapus, praktis angka kejahatan akan turun. Minimal terkurangi dengan dengan dekriminalisasi atas hal ini. Kedua, kaitannya dengan pembebasan pornografi yang bermanfaat bagi masyarakat dan individu, utamanya dalam menghilangkan tekanan mental –menjadi katarsis bagi individual sexual tensions. Ini sebenarnya argumen yang sangat relatif. Karena bagaimanapun juga, dalam perjalanan sejarah manusia, sexual tensions terbukti tidak akan pernah terbebaskan. Semakin manusia menikmati kebebasan dalam hal ini, dia teradiksi dan menginginkan kebebasan lebih jauh.
Pelampiasan hasrat seksual menjadi tak terkendali dan segala aturan agama akan dimusuhi. Dan sebentar saja, bukan hanya perzinaan yang menjadi bebas, namun kohabitasi, samen leven, homoseksual, dan berbagai bentuk tindakan seksual dengan kekerasan (deviasi seksual) akan mengikutinya. Semua atas justifikasi kebebasan untuk keluar dari tension tersebut.
Akhirnya, apakah ketegangan dan tekanan yang dialami individu dalam masyarakat akan mereda? Agaknya justru sebaliknya yang akan terjadi. Alasan ketiga bahwa secara medis pornografi bisa digunakan sebagai program terapi, sebenarnya bukan bermaksud untuk ‘penyembuhan’. Itu lebih pada menjustifikasi bahwa persepsi yang negatif tentang hubungan seksual itu harus dinilai sebagai tidak benar.
Pelaku kejahatan tidak mendapatkan kesadaran dan perasaan bersalah bahwa yang telah dilakukannya adalah sebuah bentuk kejahatan yang harus disesali dan diinsyafi. Sebaliknya dia akan merasa tenang karena berbagai penyimpangan harus dipersepsi sebagai sesuatu yang tidak menyimpang.
Keempat, soal legalisasi pornografi memberi kontribusi cukup besar bagi pajak, adalah alasan yang terlalu pragmatis, bukan bentuk suatu kreativitas dalam menggali devisa negara. Tidak kreatif karena semua orang akan tahu dan dapat melakukannya. Jangankan hari ini, sejak zaman kuno pun orang sudah mengetahui bahwa bisnis seperti ini mendatangkan banyak keuntungan.
Antroposentris
Pertanyaannya, mengapa argumen defender of pornography yang relatif mudah dibantah itu tetap menuai kemenangan di berbagai negara? Untuk memahaminya, tak bisa dilepaskan dari mainstream pandangan dunia paruh kedua abad lalu, di mana perubahan ideologi manusia dari teosentris ke antroposentris telah mencapai kegemilangannya.Semua itu dimulai dengan ”religion is the opium of the people”-nya Karl Marx, ”the death of god”-nya Niestche, ”religion is a universal human neurosis”-nya Sigmund Freud, dan dalam hukum ada ”the greates happiness”-nya Bentham. Ini adalah era sekuler. Agama menjadi bulan-bulanan dan tertawaan. Agama kemudian disingkirkan dari ruang publik.
Dengan begitu, kita mudah saja memahami mengapa argumen di atas dapat dengan mudah diterima. Bahkan, banyak gerakan feminis yang ikut memperjuangkannya, meski banyak terbukti bahwa wanita pula yang banyak menderita dan jadi korban dalam bisnis pornografi serta revolusi seksual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar